Jakarta, CNBC Indonesia – Jika diberi pilihan, banyak pemukim tentu ingin dilahirkan dari pemukim tua kaya raya. Kekayaan dianggap dapat menciptakan hidup lebih banyak santai tanpa penting pusing memikirkan bermacam keinginan hidup.
Namun, hal berbeda berlangsung di diri anak dari Pangeran Jawa Haryo Soerjaningrat, yakni Soerjopranoto. Alih-alih menikmati kemewahan kemudian hidup bergelimang harta, beliau justru memilih untuk hidup sama-sama warga miskin pada luar rumah.
Soerjopranoto merupakan anak tertua Harjo Soerjaningrat dan kakak kandung Soewardi Soeryaningrat alias Ki Hajar Dewantara.
Soerjopranoto harusnya berubah jadi penguasa tanah Jawa Kadipaten Pakualaman dari trah ayahnya. Namun, akibat ayahnya mengalami kebutaan, trah kekuasaan pun terputus. Dia harus menerima takdir tak bisa jadi berubah jadi raja.
Namun, terputusnya trah ke tangan Soerjopranoto tak menimbulkan kekayaannya menghilang. Dia serta sekeluarga tetap kaya raya sebagai bangsawan Jawa serta jadi salah satu khalayak terkaya. Hanya saja, Soerjopranoto dan keluarga punya cara berbeda menyikapi kekayaan.
Dalam autobiografi berjudul Raja Mogok: R.M Soerjopranoto (1983) diceritakan, Pangeran Haryo Soerjaningrat selalu mendidik anak-anak untuk setiap saat menghormati sesama manusia. Atas dasar ini, Soerjopranoto dan juga Soewardi selalu mensejajarkan diri ke orang-orang dalam luar istana.
Sejak kecil, merek bergaul dengan anak-anak kampung yang dimaksud mayoritas diselimuti kemiskinan. Dari sinilah, rasa empati Soerjopranoto tumbuh. Dia mengawasi bagaimana rakyat di dalam luar istana bergelut berhadapan dengan kemiskinan juga merasa kekayaan yang dimaksud dimiliki tak ada gunanya apabila dia sengsara.
Apalagi ketika mengetahui bahwa kemiskinan tercipta berkat sistem segregasi warisan kolonial Belanda. Soerjopranoto pernah menangis gara-gara kuli-kuli perkebunan tebu semata-mata menerima upah 12 sen sehari. Padahal, mandornya yang semata-mata ongkang-ongkang kaki menerima 500 gulden sehari.
Sejak ketika itu, beliau mulai tak menyukai kekayaan kemudian gemerlap hidup istana. Begitu juga untuk pemerintah kolonial Belanda. Bahkan, beliau bersumpah tak akan mau bekerja untuk orang-orang asing yang digunakan telah lama merugikan. Sebagai penanda beliau rela menyobek-nyobek ijazah yang digunakan beliau pernah tempuh susah payah dari sekolah Belanda.
“Sejak detik ini aku tidak ada sudi lagi bekerja untuk pemerintah Belanda,” tegas Soerjopranoto.
Setelah itu, Soerjopranoto memilih bergabung ke pada barisan warga miskin. Dia memutuskan meninggalkan dari hiruk pikuk istana, meninggalkan pekerjaan prestisius ke jabatan kolonial, lalu tinggal dalam luar demi mengadvokasi warga yang mana membutuhkan.
Berbagai rentetan perkembangan yang dimaksud menghasilkan pria kelahiran 11 Agustus 1871 harus memulai lagi dari awal, satu di antaranya perihal kekayaan. Pada 1920-an, ia memutuskan bermetamorfosis menjadi guru pada sekolah milik adiknya, Ki Hajar Dewantara, yakni Taman Siswa. Selama serangkaian perjuangan, Soerjopranoto aktif pada ranah pergerakan nasional mewujudkan kemerdekaan.
Takashi Shiraishi pada Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat ke Jawa 1912-1926 (1997) mencatat, beliau bergerak pada Boedi Oetomo hingga Sarekat Islam. Salah satu pergerakan paling penting yang dimaksud dilakukannya adalah saat mengawasi aksi buruh.
Dia tercatat sebagai penduduk pertama yang dimaksud berhasil mengatur demonstrasi pemogokan buruh-buruh di dalam masa kolonial. Keberhasilannya menimbulkan pemerintah kolonial geram. Atas dasar ini, beliau dijuluki “raja mogok”.
Rasa balas dendam Soerjopranoto kemudian terselesaikan di mana Nusantara merdeka tahun 1945. Setelah merdeka, Soerjopranoto tak menghilangkan idealismenya. Dia tetap hidup simpel dengan warga miskin pada luar istana sampai akhir hayat.
Next Article Orang Terkaya RI Tolak Hidup Mewah, Bagikan Duit Simbol Rupiah 20 M ke Warga
Artikel ini disadur dari Anak Orang Terkaya RI Kesal Lihat Pemerintah, Robek Ijazah-Bela Buruh